Profil Bos Pertamina Patra Niaga yang Jadi Tersangka Kasus Korupsi Minyak Mentah

25 Februari 2025
785

Jurnalmedia - Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan resmi menjadi tersangka oleh Kejaksaan Agung, atas kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018 hingga 2023. Selain Riva Siahaan, terdapat enam orang yang ditetapkan tersangka yakni dari pihak anak usaha Pertamina dan broker.

Mereka adalah SDS selaku Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional, YF yang merupakan Dirut PT Pertamina Internasional Shipping, dan AP selaku Vice President Feedstock Manajemen PT Kilang Pertamina Internasional.

Tersangka lainnya yakni, MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW yang merupakan Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.

Menurut Kejaksaan Agung RI, para tersangka diduga melakukan pemufakatan jahat yakni kongkalikong dengan memainkan harga untuk kepentingan prbiadinya, sehingga merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.

Lalu siapakah sosok Riva Siahaan yang ikut menjadi tersangka perkara kasus dugaan korupsi minyak mentah Pertamina?

Dilansir dari situs Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan meraih gelar Sarjana Manajemen Ekonomi Universitas Trisakti. Ia kemudian, melanjutkan pendidikan Magister Business Administration di Oklahoma City University, Amerika Serikat.

Sebelum menjadi Dirut, Riva Siahaan memiliki jabatan penting, di antaranya sebagai VP Crude & Gas Operation PIS (2019-2020), VP Sales & Marketing PIS (2020-2021), Direktur Niaga PT Pertamina International Shipping.

Bahkan ia sebelumnya menjabat sebagai Direktur Pemasaran Pusat & Niaga PT Pertamina Patra Niaga.

Dilihat dari akun LinkedInnya, Riva mengawali kariernya sebagai account manager di Matari Advertising pada Maret 2005-Maret 2007. Kemudian pada Maret 2007-September 2008, karirnya naik di perusahaan yang berbeda, yakni sebagai assistant account Director TBWA Indonesia. 

Lalu pada September 2008-Maret 2010, ia pindah ke PT Pertamina (Persero) sebagai Key Account Officer. Kemudian, Pada April 2010-Desember 2013, Riva menjabat sebagai Senior Bunker Office I di Jakarta. Lalu pada Desember 2013-Januari 2015, ia masih menjabat sebagai Senior Bunker Office I yang ditempatkan di Jakarta dan Singapura.


Kemudian pada Februari 2016, ia dipindah menjadi Senior Officer Industrial Key Account di PT Pertamina (Persero).  Pada Maret 2018-April 2019, Riva ditugaskan sebagai Pricing Analyst, Market, and Product Development Retail Fuel Marketing.

Jabatan Riva naik menjadi VP Crude and Gas Operation di Pertamina International Shipping pada April 2019-Desember 2020. Ia juga ditugaskan sebagai VP Sales and Marketing pada Desember 2020-Mei 2021 dan Commercial Director pada Mei -Oktober 2021. 

Selain itu kariernya berlanjut menjadi Corporate Marketing and Trading Director di PT Pertamina Patra Niaga pada Oktober 2021-Juni 2023.

Setelah itu, Riva menduduki Chief Executive Officer atau Direktur Utama dari Juni 2023 hingga saat ini.

Duduk Perkara Kasus Korupsi Minyak Mentah Pertamina

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar memaparkan, kasus korupsi tersebut bermula ketika pada periode 2018 sampai 2023, pemerintah merencanakan pemenuhan minyak mentah untuk pasar dalam negeri. Ketika itu, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari Kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi. 

Hal itu kata Qohar sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.

Namun kata Qohar, tersangka Riva Siahaan Bersama tersangka SDS dan Tersangka AP bersekongkol melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan readiness atau produksi kilang.

"Sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor," tutur Qohar.

Lanjut Qohar, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak, karena produksi minyak mentah KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama), tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk range harga HPS (Harga Perkiraan Sendiri)

Selanjutnya Qohar, produk minyak mentah KKKS dilakukan penolakan dengan alasan spesifikasi tidak sesuai (kualitas) kilang. Namun faktanya, minyak mentah bagian negara masih sesuai kualitas kilang dan dapat diolah, dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.

"Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri (ekspor)," ucap Qohar.

Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Yang mana, terdapat perbedaan harga pembelian minyak bumi impor sangat signifikan dibandingkan dari dalam negeri.

Dalam pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, diduga ada pemufakatan jahat antara Riva Siahaan, tersangka SDS, tersangka AP dan tersangka YF bersama DMUT/Broker tersangka MK, tersangka DW, dan tersangka GRJ) sebelum tender dilaksanakan, dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara

Pemufakatan jahat tersebut kata Qohar yakni kongkalikong dengan memainkan harga untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan negara.

"Sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/Broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi (Spot) yang tidak memenuhi persyaratan," kata Qohar.

Qohar kemudian membeberkan cara-cara pelaku dalam perkara ini. Ia mengungkapkan para tersangka yakni Riva Siahaan, SDS dan AP memenangkan DMUT/Broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum

"Lalu tersangka DM dan tersangka GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari tersangka Riva Siahaan untuk impor produk kilang," ucap Qohar.

Selanjutnya kata Qohar, dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92, padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah, kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.

Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, lanjut Qohar, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13 persen sampai dengan 15 persen secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut

"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Indeks Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN," tutur Qohar.

Akibat perbuatan para tersangka dari perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023, mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun. 

Kerugian tersebut sumber dari komponen yakni kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/broker sekitar Rp2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun, kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun.

" Dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun," ucap Qohar.

Ketujuh tersangka tersebut disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (K.3.3.1).

Tag

Memuat tag berita...